Sabtu, 15 Februari 2014

Prolog

Bandara Soekarno Hatta
            16 Juni 2007

Banyak orang yang berlalu lalang sambil membawa koper dan segala barangnya di terminal 2 itu. Seperti dikejar oleh sesuatu.  Memang, dikejar waktu lebih tepatnya. Setiap saat televisi yang menampilkan jadwal penerbangan pesawat selalu berubah. Delay, boarding, landing, dan segala macamnya. Tidak terkecuali dengan sekelompok keluarga yang berada di sudut salah satu ruang di tempat itu. Satu pria berusia 40an tahun yang sedaritadi melihat jam. Dua wanita yang hampir sama usianya dengan pria tersebut sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Salah satu wanita merapikan beberapa barang untuk dibawa dan wanita yang satu lagi sedang menjaga putrinya yang berusia 11 tahun duduk disampingnya. Ada anak laki-laki juga yang sedaritadi memainkan handphonenya. Seperti menanti kabar dari seseorang.
“ini sudah jam sembilan lewat. Keberangkatan kita jam 12. Lebih baik kita segera check in,” akhirnya pria itu memecahkan suasana sepi diantara mereka.
“pa, tunggu Dinar datang dulu. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal sebelum pergi,” kata Marsha, yang selalu memegang tangan Mamanya dan duduk disampingnya.
“kamu nanti bisa menghubungi dia lewat e-mail sesampai di L.A.,” bujuk Papa

            Marsha langsung melihat ke wajah Mama yang mulai terlihat sedih karena akan melepas putri satu-satunya ini.
“Ma, memangnya aku harus pergi ke Amerika? Kan aku bisa tinggal di Jakarta sama Mama,” tanya Marsha kepada Mamanya dan mulai memasang wajah kesal. Kesal karena dari awal tidak ingin pergi dari kota ini, jauh dari Mama, jauh dari teman-temannya dan jauh dari  Dinar yang sudah dianggap kakak baginya.
            Walaupun sedih, Mama berusaha terlihat tegar didepan Marsha. Dia meraup semua pipi Marsha dan berbicara selembut mungkin.
“Marsha, dari dulu kan kamu mau sekolah di Amerika, jadi model dan artis terkenal disana. Kalau kamu masih di Jakarta, bakat kamu tidak akan tereksplore dengan luas. Kamu harus banyak belajar disana”
“tapi kenapa enggak sama Mama perginya? Kenapa sama temen Papa yang enggak aku kenal?,” pertanyaan bertubi-tubi mengalir begitu saja dari mulut Marsha. “kenapa semua ini terjadi Ma? Papa punya istri lagi, dan ternyata kita jadi kedua Ma,” air mata Marsha sudah mulai mengalir walau hanya sedikit. Marsha masih berusaha buat menahan air matanya turun lagi. “buat apa aku ikut Papa kalau aku hanya menjadi yang kedua diantara keluarga mereka?”